host

Sabtu, 19 April 2014

cerpen laba-laba dan rizkinya

Laba-laba dan rizkinya
Oleh Yus Mohamad

Bukan aku yang bersemangat menyambung nyawa. Bukan aku yang bekerja keras membangun semangat. Tetapi seekor laba-laba kecil yang sedang mengikatkan jaring sebagai rumah dan penyjemput rizkinya. Aku hanya terbaring lemas tak bergairah akan pupusnya harapanku. Aku malu! Tak sanggup lagi menahan beban ini. Ibuku terus bertanya “kapan kau kerja”,” kapan kau dapat duit”…
Ternyata lembaran ijazah SMP ku tak memiliki nilai lebih berarti dari seutas nilai. Titik! . brpuluh-puluh lembar ku buat surat lamaran dan tak satupun orang melirik dan berminat membeli jasaku. Malahan dulu pernah seorang satpan mengusirku karena aku memaksa ingin masuk dan menyampaikan permohonan untuk menyumbangkan kerja keras dan keringatku. Apakah perkerjaan hanya untuk mahsiswa dan berduit? Apakah kejujuran itu diukur oleh tingkat pendidikan? Apakah harus berkumis?,Adilkah...
Aku tahu pamanku seorang mandor di kebun bunga milik pak lurah. Namun tak bisa diharapkan dari dia yang begitu acuh. Cuih! Pamanku lebih melirik anak dari teman bapaknya. Tahukah kamu paman, berkat jasa ayahkulah kamu saat ini menjabat sebagai mandor. Apakah kamu idak berniat untuk membalas jasa ayahku?. Janganlah kau tambah kesedihan ibuku yang seorang janda tua karna telah ditinggal ayahku di bulan ramadhan tahun lalu. ibuku saat ini sudah berhenti bekerja karna sudah tua dagingnya tak segemuk dulu. Kau harus tahu itu! Aku racun kau nanti!
selasa bulan Desember tahun lalu persis sebulan setelah ayahku meninggal aku tertipu oleh bapak pedek berkumis yng baru aku kenal saat dia melewati rumah. Dia mengimingi uang yang berlipat dan dapat menguntungkan aku katanya. Aku tergiur oleh kata-katanya. Entah kenapa jampi-jampinya itu langsung aku percaya. Mataku tehipnotis oleh bujuk dan rayuannya. “Jikalau aku jual TV milik ibuku ke tukang loak dekat pankalan becak itu nanti akan ku gandakan duitnya dan ku bagi pada ibuku”. Sial banget waktu itu. Setelah TV kujual dan k bberikan uang nya ke bapak kumis itu, tak ku dengar lipatan duit yang kuharapkan itu juga tak terlihat lagi sosok bapak tua kumis di hari berikutnya dan hari seterusnya. “sial aku kena tipu” pikirku.

  Aku malu dan pupus harapan. Aku ingin marah tapi pada siapa aku harus melampiaskan nya. Langitkah? Hujankah? Bumikah? Negarakah? Kadeskah? Ibukah? Pamankah?.  Terlebih aku malu kepada seekor laba-laba yang masih mengikatkan jaringnya di sudut kamarku seolah-olah hendak meludahi dan mengencingiku. Ku coba mrusak jaringnya dengan keras Koran yang digulung sampai rusak. Namun ternyata ku lihat laba-laba itu masih terus memperbaiki jaringnya.
Nak! Tahukah kamu aku buat jaring ini karena apa?
Enggak. Tapi aku tahu kau bodoh membuat jaring itu di pojok kamarku yang gak akan pernah lalat atau serangga masuk perangkapmu.
Kau harus tahu nak, aku buat jaring disini karna aku yakin bahwa Alloh SWT sudah mengatur rezeki dari tiap-tiap makhlukNya. Walaupun aku hanya sekor laba-laba.

          Besok lusa hari pertama bulan ramadhan. Aku ditawari oleh ketua pondok pesantren untuk berjualan es rujak dan kolak pisang di dekat lampu merah yang berdekatan dengan pesantren. Ustad ghafur namanya, dia adalah guru ngajiku waktu aku masih mondok di pesantrenya waktu SMP. Aku masih berhubungan dengan beliau karena rumahnya dekat hanya terpalang tiga rumah dengan rumahku. Namun tawaran beliau masih belum aku oertanyakan kembali...
countinue......  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar