Laba-laba dan rizkinya
Oleh Yus Mohamad
Bukan aku
yang bersemangat menyambung nyawa. Bukan aku yang bekerja keras membangun
semangat. Tetapi seekor laba-laba kecil yang sedang mengikatkan jaring sebagai
rumah dan penyjemput rizkinya. Aku hanya terbaring lemas tak bergairah akan
pupusnya harapanku. Aku malu! Tak sanggup lagi menahan beban ini. Ibuku terus
bertanya “kapan kau kerja”,” kapan kau dapat duit”…
Ternyata
lembaran ijazah SMP ku tak memiliki nilai lebih berarti dari seutas nilai.
Titik! . brpuluh-puluh lembar ku buat surat lamaran dan tak satupun orang
melirik dan berminat membeli jasaku. Malahan dulu pernah seorang satpan
mengusirku karena aku memaksa ingin masuk dan menyampaikan permohonan untuk
menyumbangkan kerja keras dan keringatku. Apakah perkerjaan hanya untuk
mahsiswa dan berduit? Apakah kejujuran itu diukur oleh tingkat pendidikan?
Apakah harus berkumis?,Adilkah...
Aku tahu
pamanku seorang mandor di kebun bunga milik pak lurah. Namun tak bisa
diharapkan dari dia yang begitu acuh. Cuih! Pamanku lebih melirik anak dari
teman bapaknya. Tahukah kamu paman, berkat jasa ayahkulah kamu saat ini
menjabat sebagai mandor. Apakah kamu idak berniat untuk membalas jasa ayahku?.
Janganlah kau tambah kesedihan ibuku yang seorang janda tua karna telah ditinggal
ayahku di bulan ramadhan tahun lalu. ibuku saat ini sudah berhenti bekerja
karna sudah tua dagingnya tak segemuk dulu. Kau harus tahu itu! Aku racun kau
nanti!
selasa
bulan Desember tahun lalu persis sebulan setelah ayahku meninggal aku tertipu
oleh bapak pedek berkumis yng baru aku kenal saat dia melewati rumah. Dia
mengimingi uang yang berlipat dan dapat menguntungkan aku katanya. Aku tergiur
oleh kata-katanya. Entah kenapa jampi-jampinya itu langsung aku percaya. Mataku
tehipnotis oleh bujuk dan rayuannya. “Jikalau aku jual TV milik ibuku ke tukang
loak dekat pankalan becak itu nanti akan ku gandakan duitnya dan ku bagi pada
ibuku”. Sial banget waktu itu. Setelah TV kujual dan k bberikan uang nya ke
bapak kumis itu, tak ku dengar lipatan duit yang kuharapkan itu juga tak
terlihat lagi sosok bapak tua kumis di hari berikutnya dan hari seterusnya.
“sial aku kena tipu” pikirku.
Aku
malu dan pupus harapan. Aku ingin marah tapi pada siapa aku harus melampiaskan
nya. Langitkah? Hujankah? Bumikah? Negarakah? Kadeskah? Ibukah? Pamankah?. Terlebih aku malu kepada seekor laba-laba yang
masih mengikatkan jaringnya di sudut kamarku seolah-olah hendak meludahi dan
mengencingiku. Ku coba mrusak jaringnya dengan keras Koran yang digulung sampai
rusak. Namun ternyata ku lihat laba-laba itu masih terus memperbaiki jaringnya.
Nak!
Tahukah kamu aku buat jaring ini karena apa?
Enggak.
Tapi aku tahu kau bodoh membuat jaring itu di pojok kamarku yang gak akan
pernah lalat atau serangga masuk perangkapmu.
Kau
harus tahu nak, aku buat jaring disini karna aku yakin bahwa Alloh SWT sudah
mengatur rezeki dari tiap-tiap makhlukNya. Walaupun aku hanya sekor laba-laba.
Besok
lusa hari pertama bulan ramadhan. Aku ditawari oleh ketua pondok pesantren
untuk berjualan es rujak dan kolak pisang di dekat lampu merah yang berdekatan
dengan pesantren. Ustad ghafur namanya, dia adalah guru ngajiku waktu aku masih
mondok di pesantrenya waktu SMP. Aku masih berhubungan dengan beliau karena
rumahnya dekat hanya terpalang tiga rumah dengan rumahku. Namun tawaran beliau
masih belum aku oertanyakan kembali...
countinue......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar